Selasa, 10 Januari 2012

Sitem Muzaro'ah


AL – MUZARO’AH

Makalah
 Manajemen Bank Syari’ah




 











Disusun oleh:

Ali Rofiq                                 (082411088)







FAKULTAS  SYARI’AH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2011
I.       Pendahuluan
Apabila kita perhatikan kehidupan masyarakat Indonesia yang agraris. Praktik pemberian imbalan atas jasa seseorang yang telah menggarap tanah orang lain masih banyak dilaksanakan pemberian imbalan ada yang cenderung pada praktek muzara’ah dan ada yang cenderung pada praktik mukhabarah. Tetapi dalam makalah ini kami akan membahas tentang muzara’ah.Hal tersebut banyak dilaksanakan oleh para petani yang tidak memiliki lahan pertanian hanya sebagai petani penggarap.
Muzara’ah ada Hadits yang melarang seperti yang diriwayatkan oleh (H.R Bukhari) dan ada yang membolehkan seperti yang diriwayatkan oleh (H.R Muslim).
Berdasarkan pada dua Hadits tersebut mudah – mudahan kedua belah pihak tidak ada yang dirugikan oleh salah satu pihak, baik itu pemilik tanah maupun penggarap tanah.

II.    Permasalahan
Mengacu latar bekalang di atas, maka kami mencoba akan menjelaskan sedikit banyak tentang Muzaro’ah, adapun permasalah yang akan kami sampaikan adalah:
A.    Pengertian al-Muzaro’ah
B.     Landasan Syari’ah
C.     Rukun al-Muzaro’ah
D.    Syarat al-Muzaro’ah
E.     Berakhirnya Akad al-Muzaro’ah
F.      Prakter Muzaro’ah dalam Bank Syari’ah


III.  PEMBAHASAN

A.    Pengertian Al-Muzaro’ah
Menurut bahasa, kata Al-Muzara’ah adalah kerjasama mengelola tanah dengan mendapat sebagian hasilnya.
Secara terminologi, terdapat beberapa definisi para ulama, menurut ulama Malikiyah berarti perserikatan dalam pertanian, ulama Hanabilah mengartikannya sebagai penyerahan tanah pertanian kepada seorang petani untuk digarap dan hasilnya dibagi berdua (paroan).
Dan dalam ensiklopedia islam Muzara’ah ialah mengerjakan tanah (orang lain) seperti sawah atau ladang dengan imbalan sebagian hasilnya (seperdua, sepertiga atau seperempat). Sedangkan biaya pengerjaan dan benihnya ditanggung pemilik tanah.
Dari beberapa definisi di atas dapat disimpulkan bahwa Al-Muzaro’ah adalah kerja sama pengolahan pertanian anatara pemilik lahan dan penggarap lahan, dimana pemilik lahan memberikan lahan pertanian kepada si penggarap untuk ditanami dan dipelihara dengan imbalan bagian tertentu (persentase) dari hasil panen.
Munculnya pengertian muzara’ah dengan ta’rif yang berbeda tersebut karena adanya ulama yang membedakan antara arti muzara’ah dan mukhabarah, yaitu Imam Rafi’I berdasar dhahir nash Imam Syafi’i. Sedangkan ulama yang menyamakan ta’rif muzara’ah dan mukhabarah diantaranya Nawawi, Qadhi Abu Thayyib, Imam Jauhari, Al Bandaniji. Mengartikan sama dengan memberi ketetntuan: usaha mengerjakan tanah (orang lain) yang hasilnya dibagi.
Al-muzaro’ah seringkali diidentifikasikan dengan mukhobaroh. Di antara keduanya terdapat sedikit perbedaan sebagai berikut:
a.       Muzaro’ah : benih dari pemilik lahan
b.      Mukhobaroh : benih dari Penggarap[1]

B.     Landasan Syari’ah
a.       Al-Hadits
عَنْ اِبْنِ عُمَرَاَنَّ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَامَلَ أَهْلَ خَيْبَرَ بِشَرْطِ مَايَخْرُجُ مِنْهَا مِنْ ثَمَرٍ اَوْزَرْعٍ (رواه مسلم)
Diriwayatkan dari Ibnu Umar bahwa Rosulullah SAW pernah memberikan tanah Khaibar kepoada penduduknya (waktu itu mereka masih Yahudi) untuk digarap dengan imbalan pembagian hasil buah-buahan dan tanaman.
Diriwayatkan oleh Bukhori dari Jabir yang mengatakan bahwa bangsa arab senantiasa mengolah tanahnya secara muzaro’ah dengan resiko bagi hasil 1/3:2/3, 1/4:31/4 & 1/2:1/2, maka Rosulullahpun bersabda: “Hendaklah nanami atau menyerahkan untuk digarap. Barang siapa tidak melakuakan salah satu dari keduanya, tahanlah tanahnya.”
a.       Ijma’
Bukhori mengatakan bahwa telah berkata Abu Jafar, “tidak ada suatu rumah pun di madinah kecuali penghuninya mengolah tanh secara muzaro’ah dengan pembagian hasil 1/3 da 1/4. Hal ini telah dilakukan oleh sayyidina Ali, Sa’ad bin abi Waqash, Ibnu mas’ud Umar bin Abdul Aziz, Qosim, Urwah, Keluarga Abu Bakar, dan Keluarga Ali.”[2]

C.    Rukun Al-Muzara’ah
Menurut jumhur ulama ada empat rukun dalam muzara’ah:
a.       Pemilik Tanah[3]
b.      Petani / Penggarap
c.       Obyek al-Muzaro’ah
d.      Ijab dan qabul, keduanya secara lisan, bagi ulama Hanabilah, qabul tidak harus berupa lisan, namun dapat juga berupa tindakan langsung dari si penggarap.

D.    Syarat Al-Muzaro’ah
Syarat-Syarat yang berkaitan dengan orang yang berakad (pemilik dan petani).
1) Berakal
2) Baligh.
Sebagian ulama Hanafiyah mensyaratkan bahwa salah satu atau keduanya (penggarap dan pemilik ) bukan orang murtad, karena tindakan orang murtad dianggap mauquf, tidak punya efek hukum hingga ia masuk Islam. tetapi jumhur ulama sepakat bahwa aqad al-muzara’ah ini boleh dilakukan antara Muslim dan non Muslim termasuk didalamnya orang murtad.[4]
Adapun benih yang akan ditanam disyaratkan harus jelas, apa yang akan ditanam-sehingga sesuai dengan kebiasaan tanah itu. Sedangkan syarat yang menyangkut tanah pertanian adalah:
1.       Menurut adat di kalangan petani, tanah itu boleh digarap dan menghasilkan, jika tidak potensial untuk ditanami karena tandus dan kering, maka al muzara’ah dianggap tidak sah
2.      Batas-batas tanah itu jelas
3.      Tanah itu diserahkan sepenuhnya kepada petani untuk digarap, apa bila pada waktu akad disyaratkan bahwa pemilik tanah ikut serta menggarap, maka akad al-muzara’ah ini dianggap tidak sah.

Syarat-syarat yang menyangkut dengan hasil panen adalah :
1.      Pembagian hasil panen bagi masing-masing pihak harus jelas
2.      Hasil itu benar-benar milik bersama orang yang berakad, tanpa ada unsur dari luar
3.      Pembagian hasil panen itu ditentukan pada awal akad untuk menghindari perselisihan nantinya.[5]

E.     Berakhirnya Akad Al-Muzara’ah
Akad al-muzaraah ini bisa berakhir manakala maksud yang dituju telah dicapai, yaitu:
a.       Jangka waktu yang disepakati pada waktu akad telah berakhir. Akan tetapi bila waktu habis namun belum layak panen, maka akad muzara’ah tidak batal melainkan tetap dilanjutkan sampai panen dan hasilnya dibagi sesuai dengan kesepakatan bersama.
b.      Meninggalnya salah satu dari kedua orang yang berakad. Menurut ulama Hanafiyah bila salah satu dari dua unsur tadi wafat maka akad muzaraah ini dianggap batal, baik sebelum atau sesudah dimulainya proses penanaman. Namun Syafi’iyah memandangnya tidak batal.
c.       Adakalanya pula berakhir sebelum maksud atau tujuannya dicapai dengan adanya berbagai halangan atau uzur, seperti sakit, jihad dan sebagainya.
F.     Praktek Muzaro’ah dalam Bank Syariah
Dalam konteks ini, lembaga keuangan Islam dapat memberikan pembiayaan bagi nasabah yang bergerak dalam bidang plantation (perkebunan) atas dasar perinsip bagi hasil dari hasil panen.[6]
Prosentasi pembagianya mnerut konsep yang tertulis diatas, mulai dari rukun, syarat, dan ketentuan- ketentauan yang lainya sampai akad itu berakhir.


IV. Kesimpulan
Muzara’ah merupakan kerjasama mengelola tanah jadi pemilik tanah memberi hak mngelola tanah kepada seorang petani dengan benihnya ditanggung pemilik tanah. Muzara’ah juga termasuk jalan tengah dari permasalahan orang-orang yang tidak punya lahan dan orang-orang yang punya lahan tapi tidak mampu mengelolanya. Walaupun ada yang membolehkan dan melarang tapi dasarnya masih kuat yang membolehkan juga disertai syarat-syarat rukun sehingga muzara;ah itu sah.

V.    Penutup
Demikian uraian makalah dari kami,mohon maaf apabila terdapat kekurangan pada konteksnya,kesalahan penulisan,maupun kekurangan-kekurangan lain.Kritik dan saran yang membangun masih kami perlukan untuk perbaikan makalah kami di lain waktu.Sekian.



Dafatr Pustaka

Haroen, Nasroen, Fiqh Mu’amalah, Cetetakan Ke-1, Gaya Media Pratama, Jakarta: 2000

Wahbah Zuhaili, Fiqh Islam wa Adillatuhu,.Jilid 5, Daar el Fikr Beirut

H. Sulaeman Rasyid, Fiqih Islam, PT. Sinar Baru Algensindo, Bandung: 1994

Antonia, Muhammad Syafi’i, Bank Syari’ah Dari Teori Ke Praktik, Gema Insani, Jakarta: 2001

DR. (He) Drs. H.S Sholahuddin, Fiqhul Islam, Biro Penerbit Jurusan Syariah STAIN, Cirebon, 2000


[1] Nasroen Haroen, Fiqh Mu’amalah, Cetetakan Ke-1, Gaya Media Pratama, Jakarta, 2000, hal. 275.
[2] Muhammad Syafi’i Antonia, Bank Syari’ah Dari Teori Ke Praktik, Gema Insani, Jakarta: 2001 hlm. 99
[3] Opcit, hal 278
[4] Wahbah Zuhaili, Fiqh Islam wa Adillatuhu,.Jilid 5, Daar el Fikr Beirut, hal. 616
[5] Ibid, 616
[6] Ibid, Muhammad Syafi’i Antoni hlm. 99

Tidak ada komentar:

Posting Komentar